Sabtu, 03 Februari 2018

Mak, Maut atau Jodoh??


Mak, entah bagaimana aku menggambarkannya, tapi hari ini hatiku sedang merasa sedikit tidak nyaman, bagaimana bisa, ya? Padahal, semua hal berjalan baik hari ini. Apakah ini bentuk rindu kepada kampung halaman? 


Tapi disana sepertinya tidak ada yang merindukanku, muahahahah. Aku sempat ketakutan ketika suatu saat kelak aku harus pulang dan menemui kehampaan yang tidak pernah aku rasakan selama aku berada di luar zona nyaman.

Mak, sifat apa yang kau turunkan padaku? Aku tidak pernah nyaman berlama-lama berdiam diri, aku lebih nyaman berada di lingkungan yang sama sekali asing bagiku. Menurutku, hidup diluar jangkauan kalian adalah hidup yang ternyaman bagiku. Wkkwk

Tidak ada larangan dan aturan yang mengekangku, tidak ada tatapan menyelidik, dan pertanyaan bertubi-tubi yang pasti akan di utarakan seorang emak dan kakak padaku, tidak ada pekerjaan yang harus aku lakukan dibawah perintah kalian. 

Apakah aku terlalu bebas, Mak?

Dan, Mak, aku sedang pusing memikirkan suatu hal, siapa yang akan mengunjungiku lebih dahulu?

Maut?

Atau,

Jodoh?


Entahlah...

Mak, jangan berharap anakmu ini memiliki suami yang sesuai dengan kriteriamu jika suatu saat adalah jodohku yang menemukan ku mendahului malaikat maut. Mak, bebaskan aku memilih siapapun yang kelak akan menjadi pasangan hidupku ya...

Aku akan mempertanggungjawabkan pilihanku.

Mak, suatu ketika pernah ada beberapa orang yang akan melamarku, tapi karna satu permintaanku tidak ada yang bisa mereka “iya”-kan, maka aku memutuskan untuk menolak mereka semua. Mungkin jika aku meng-iya-kan tawaran lamaran mereka, aku sudah menjadi istri orang lain, atau mungkin sudah mengandung bayi? Wkwk

Tapi kau tahu, Mak? Kenapa aku menolak mereka semua?

Karna aku tidak mau meninggalkanmu seorang diri, Mak. Sungguh. Aku ingin hidup menua bersamamu, kelak. Jika malaikat maut tidak lebih dulu menemuiku. Haha

Mak, sekian orang yang aku beri syarat sebagai jawaban dari permintaan lamaran mereka, belum ada satupun yang mampu memenuhinya, padahal syaratku tidak muluk-muluk, dan wajar bagi sebagian orang.

Aku hanya meminta ketika kelak menjadi suamiku, maka pisahkan aku dari orang tua mereka. Wajar kan Mak? Aku hanya tidak ingin tinggal dan hidup satu atap bersama mertua. Bukan karena apa-apa, aku hanya ingin hidup manja dan menua bersamamu, aku ingin menuntut belasan tahun masa kita yang sempat hilang. Muehehe. Alasan apa ini Mak? Tidak masuk akal ya...

Hahaha.

Biarlah.

Dan, kau adalah orang tua tunggal yang kupunya sekarang. Mana mungkin aku akan membiarkanmu hidup sendiri. Dari situlah aku mencari sosok lelaki yang mau mencintaiku tanpa “karena”, dan dengan lapang mau menerimamu seperti Emaknya sendiri.

Kau tau, Mak, beberapa bulan ini aku sedang dekat dengan seorang lelaki yang sudah menyetujui persyaratan yang aku ajukan;

“Hidup berpisah rumah dari orang tuanya”

Dan, dia akan menjadikanmu sebagai “Tuhan” di rumah. Muehehe. Dia sangat sayang kepada Emaknya, Mak.

Mak, suatu ketika pernah terlintas di benakku, mengapa aku tak juga di berikan teman hidup diusiaku yang mendekati 24 tahun? Tapi dilain hari hatiku berdialog sendiri:

“Usiaku memasuki 24, tapi sepertinya belum siap memiliki teman hidup”

“Tapi sampai kapan aku akan terus begini?”

“Sampai tetangga menge-TJAP Perawan Tua, begitu?”

Muaahahahah, Duh maaak, Duh Gustiii Allah, menjelang tahun ke 24-ku, aku sering frustasi karena memikirkan sesuatu yang dianggap remeh-temeh untuk orang-orang yang sudah memiliki teman hidup.

Wajar kan Maaaak? Apakah dulu kau mengalami hal semacam ini?

Ah kau saja menikah karena dijodohkan, duh nasibmu Mak.

#Eh..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar